Langsung ke konten utama

Teladan Tokoh Integrasi Berjuang Mempertahankan Kemerdekaan NKRI

Meski telah merdeka, ternyata pada awalnya, NKRI masih perlu mempertahankannya dari negara-negara yang belum mengakui kemerdekaan kita saat itu. Banyak tokoh yang berjuang mempertahankan kemerdekaan NKRI, antara lain: 
A. Tokoh Raja
Sultan Hamengkubowono IX (1912-1988)
Sultan Hamengkubuwono IX lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat, 12 April 1912 dengan nama asli Gusti Raden Mas Dorodjatun. Ia adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan permaisuri Kangjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara.
Peran Sultan Hamengkubowono IX dalam mempertahankan keutuhan NKRI
Pada tanggal 2 Oktober 1988, Sultan Hamengkubuwono IX meninggal dunia di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat. Atas jasa dan berbagai perannya bagi bangsa dan negara Indonesia, Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Sultan Hamengkubowono IX
Sultan Hamengkubowono IX. (Sumber: id.wikipedia.org)

Sultan Syarif Kasim II (1893-1968)
Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin[3] atau Sultan Syarif Kasim II (lahir di Siak Sri IndrapuraRiau1 Desember 1893 – meninggal di RumbaiPekanbaruRiau23 April 1968 pada umur 74 tahun) adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak. Ia dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim. Sultan Syarif Kasim II merupakan seorang pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi dia menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian wilayah Indonesia, dan dia menyumbang harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk pemerintah republik (setara dengan 151 juta gulden atau € 69 juta euro pada tahun 2011)[4] . Bersama Sultan Serdang dia juga berusaha membujuk raja-raja di Sumatra Timur lainnya untuk turut memihak republik. Namanya kini diabadikan untuk Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II di Pekanbaru.
                                       Sultan Syarif kasim II (Sumber: https://tirto.id)
Uang sebesar 13 juta gulden tentu saja bukan jumlah yang kecil. Jika ditakar dengan ukuran sekarang, nominalnya kira-kira setara 69 juta euro atau lebih dari 1 triliun rupiah. Segepok uang itulah yang diberikan secara cuma-cuma oleh Sultan Syarif Kasim II kepada Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Sukarno.

Tak hanya itu, Sultan Syarif Kasim II juga tidak segan-segan menyerahkan mahkota dan nyaris seluruh kekayaannya. Ini dilakukan sebagai penegas bahwa Kesultanan Siak Sri Inderapura yang dipimpinnya meleburkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sedari era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Sultan Syarif Kasim II sudah menempatkan dirinya sebagai penentang kaum penjajah. Lahir di Siak Sri Inderapura, Riau, pada 1 Desember 1893, sang sultan memperlihatkan perlawanannya terhadap Belanda melalui cara-cara yang elegan dan cerdas. Sultan Syarif Kasim II sadar, melawan Belanda lewat fisik atau menentang dengan frontal sama saja bunuh diri. Apalagi, Kesultanan Siak Sri Inderapura masih terikat perjanjian yang diteken pendahulunya di masa lampau.

Jauh sebelumnya, Sultan Said Ismail (1827-1864), kakek buyut Sultan Syarif Kasim II, terpaksa menandatangani Traktat Siak yang isinya sangat menguntungkan Belanda (Sapardi Djoko Damono & Marco Kusumawijaya, Siak Sri Indrapura, 2005: 71).

Traktat Siak merupakan konsekuensi yang dijalani Sultan Said Ismail karena meminta bantuan Belanda untuk mengusir Inggris dari Riau pada pertengahan abad ke-19. Terbelenggu oleh Traktat Siak tidak lantas membuat Sultan Syarif Kasim II, yang bertakhta sejak 3 Maret 1915, sepenuhnya takluk kepada bangsa kolonial. Sebaliknya, Sultan Syarif Kasim II dengan cerdik memaksimalkan perannya agar rakyat Siak Sri Inderapura tidak tertinggal jauh dalam menyongsong zaman modern di era pergerakan nasional itu.

Sultan Syarif Kasim II memang sosok yang berpikiran modern. Sejak usia belia, tepatnya tahun 1904, ia sudah dikirim ke Batavia (Jakarta) untuk memperdalam ilmu hukum agama dan ilmu pemerintahan. Syarif Kasim II adalah salah satu murid Profesor Snouck Hurgronje, orientalis yang menjadi penasihat pemerintah kolonial (M. Nijhoff, Anthropologica, Volume 153, 1997: 516). Karena itu, setelah dinobatkan menjadi sultan pada 1915, ia menggalakkan pembangunan di wilayahnya. Sultan Syarif Kasim II juga berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia rakyat Siak Sri Inderapura melalui pendidikan demi mengejar ketertinggalan dari orang-orang Belanda.

Melawan dengan Cara Elegan

Sultan Syarif Kasim II mendirikan sekolah dasar untuk mengimbangi Hollandsche Inlandsche School (HIS) milik Belanda yang hanya menerima murid dari kalangan tertentu. Sultan ingin agar seluruh anak-anak dari berbagai lapisan masyarakat bisa mengenyam pendidikan yang baik.

Sekolah dasar pertama di Riau itu menjalankan kurikulum yang memadukan unsur agama (Islam) dan nasionalisme, termasuk mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Maka, berdirilah Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah pada 1917 (Suwardi Mohammad Samin, Sultan Syarif Kasim II: Pahlawan Nasional dari Riau, 2002: 66).

Tak hanya itu, permaisuri Sultan Syarif Kasim II, Sarifah Latifah, juga turut mendirikan sekolah khusus untuk perempuan pertama di Riau (Wilaela, Sultanah Latifah School di Kerajaan Siak, 2014: 130). Sekolah yang bernama Latifah School tersebut diresmikan pada 1926.

Sayangnya, Sarifah Latifah keburu wafat. Perjuangannya dilanjutkan oleh permaisuri kedua, Tengku Maharatu. Selain mengelola Latifah School, ia juga mendirikan asrama putri, taman kanak-kanak, serta menggagas sekolah perempuan lainnya bernama Madrasyahtul Nisak (Adila Suwarno, dkk., Siak Sri Indrapura, 2007: 73).
Sultan Syarif Kasim II sendiri terus menentang Belanda melalui gerakan diam-diam. Salah satunya memberi dukungan kepada “pemberontakan” Si Koyan pada 1931, yang dilancarkan oleh mereka yang tidak sudi dijadikan pekerja paksa (Tenas & Nahar Efendi, Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura, 1972: 53).

Bantuan dana juga diberikan secara klandestin oleh Sultan Syarif Kasim II untuk memperkuat benteng-benteng pertahanan rakyat, juga memberikan fasilitas pelatihan kemiliteran kepada kaum pemuda, hingga menentang kebijakan romusha oleh pemerintahan pendudukan Jepang pada 1942.

Tanpa Pamrih Demi NKRI

Beberapa pekan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Sultan Syarif Kasim II mengirimkan kawat kepada Presiden Sukarno. Kawat tertanggal 28 November 1945 itu menyatakan bahwa Kesultanan Siak Sri Inderapura berdiri teguh di belakang Republik Indonesia (Husni Thamrin, Naskah Historis, Politik dan Tradisi, 2009: 201).

Mardanas Safwan dalam Sultan Syarif Kasim II: Riwayat Hidup dan Perjuangannya 1893-1968 (2004) menyebutkan, kawat tersebut dikirimkan bersama dengan kesediaan sultan menyumbangkan uang sebesar 13 juta gulden untuk mendukung berdirinya republik.



Sebulan sebelumnya, Oktober 1945, Sultan Syarif Kasim II memprakarsai dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik di Siak Sri Inderapura (Riau). Pembentukan badan-badan perjuangan itu disertai dengan rapat umum yang digelar di lapangan istana dengan mengibarkan bendera Merah Putih.

Dalam rapat besar itu, Sultan Syarif Kasim II bersama segenap rakyat Siak Sri Inderapura dan tokoh-tokoh Riau mengucapkan ikrar setia untuk mempertahankan kemerdekaan RI sampai titik darah penghabisan (GN-PPNK, Riwayat Hidup Singkat dan Perjuangan Almarhum Sultan Syarif Kasim II, 2006: 3).

Keputusan tersebut ternyata membuat Belanda—yang datang kembali ke Indonesia bersama pasukan Sekutu tak lama setelah kemerdekaan RI—berang dan melayangkan ancaman terhadap sang sultan.

Ancaman itu membuat Sultan Syarif Kasim II terpaksa diungsikan ke Aceh. Sebelum pergi, sultan menyerahkan istana beserta nyaris seluruh kekayaan Kesultanan Siak Sri Inderapura, termasuk mahkota raja, kepada pemerintah RI (Muhammad Hafiz, Pendidikan di Kerajaan Siak Sri Inderapura: Telaah Historis Pendidikan di Era Sultan Syarif Kasim II, 2012: 96).

Di Serambi Mekah, Sultan Syarif Kasim II bergabung dengan kaum pejuang dan dipercaya sebagai penasihat pemerintah Karesidenan Aceh. Sultan masih menyuarakan dukungannya terhadap RI dari Aceh, termasuk dengan membujuk raja-raja di kawasan Sumatera untuk berpihak kepada republik.
Setelah masa damai, Sultan Syarif Kasim II sempat tinggal Jakarta kendati tidak menempati posisi khusus di pemerintahan. Itu terjadi lantaran ia harus kembali ke Riau untuk mengurusi harta peninggalan leluhurnya yang ternyata masih ada di Singapura. Di Riau, sultan menetap di bekas kediaman almarhumah istrinya, Sultanah Latifah.

Sultan Syarif Kasim II bolak-balik ke Singapura selama beberapa tahun dan sempat tinggal di negeri bekas jajahan Inggris itu. Namun, konfrontasi Indonesia dengan Malaysia yang terjadi pada awal dasawarsa 1960-an membuat Sultan Syarif Kasim II gagal membawa pulang harta warisannya.

Lantaran tidak ingin terseret dalam konflik, Sultan Syarif Kasim II pulang ke Siak. Ia menghabiskan masa tua di kampung halamannya hingga wafat pada 23 April 1968 dalam usia 76 tahun (Nizami Jamil, Negeri Siak Tanah Kelahiranku, 2008: 153).

Pengorbanan Sultan Syarif Kasim II untuk Republik amat besar. Namun, pemerintah RI baru memberinya gelar Pahlawan Nasional pada 6 November 1998. Nama Sultan Syarif Kasim II diabadikan sebagai nama bandar udara internasional di Pekanbaru, Riau.

B. Pahlawan Papua
Frans Kaisiepo (1921-1979)
Pahlawan berikutnya adalah pahlawan yang berasal dari Irian. Namanya diabadikan menjadi nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak serta diabadikan di salah satu kapal yaitu KRI Frans Kaisiepo dan wajahnya diabadikan dalam mata uang Rp.10.000,00.
Frans Kaisiepo lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921. Pada usia 24 tahun, ia mengikuti kursus Pamong Praja di Jayapura yang salah satu pengajarnya adalah, Sugoro Atmoprasodjo, yang merupakan mantan guru Taman Siswa. Sejak bertemu dengan beliau, jiwa kebangsaan Frans Kaisiepo semakin tumbuh dan kian bersemangat untuk mempersatukan wilayah Irian ke dalam NKRI.
Peran Frans Kaisiepo dalam mempertahankan keutuhan NKRI
Frans Kaisiepo wafat tanggal 10 April 1979. Atas jasa dan perjuangannya selama mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia, Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo. (Sumber: jateng.tribunnews.com).

Silas Papare (1918-1978)
Silas Papare (lahir di SeruiPapua18 Desember 1918 – meninggal di SeruiPapua7 Maret 1973 pada umur 54 tahun) adalah seorang pejuang penyatuan Irian Jaya (Papua) ke dalam wilayah Indonesia. Ia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya diabadikan menjadi salah satu Kapal Perang Korvet kelas Parchim TNI AL KRI Silas Papare dengan nomor lambung 386. Selain itu, dididirkan Monumen Silas Papare di dekat pantai dan pelabuhan laut Serui. Sementara di Jayapura, namanya diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Silas Papare, yang berada di Jalan Diponegoro. Sedangkan di kota Nabire, nama Silas Papare dikenang dalam wujud nama jalan.
Ia menyelesaikan pendidikan di Sekolah Juru Rawat pada tahun 1935 dan bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda. Ia sangat gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga ia sering berurusan dengan aparat keamanan Belanda dalam memerangi kolonialisme Belanda dan pada akhirnya ia dipenjarakan di Jayapura karena memengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak.
Semasa menjalani masa tahanan di Serui, Silas berkenalan dengan Dr. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda ke tempat tersebut. Perkenalannya tersebut semakin menambah keyakinan ia bahwa Papua harus bebas dan bergabung dengan Republik Indonesia. Akhirnya, ia mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Akibatnya, ia kembali ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Biak. Namun, dengan transportasi kapal laut, Silas Papare dan isterinya, Regina Aibui serta keluarganya memilih melarikan diri menuju Yogyakarta ke Yogyakarta.
Pada bulan Oktober 1949 di Yogyakarta, ia mendirikan Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta dalam rangka membantu pemerintah Republik Indonesia untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah RI. Silas Papare yang ketika itu aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) juga diminta oleh Soekarno menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam New York Agreement yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda perihal Irian Barat. Setelah penyatuan Irian Barat, ia kemudian diangkat menjadi anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).

                                          Silas Papare (Sumber: id.wikipedia.org)

Marthen Indey (1912-1986)
Marthen Indey (lahir di Doromena14 Maret 1912 – meninggal di Doromena17 Juli 1986 pada umur 74 tahun) merupakan putra Papua yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan Nasional Indonesia berdasar SK Presiden No.077 /TK/ 1993 tgl. 14 September 1993 bersama dengan dua putra Papua lainnya yaitu Frans Kaisiepo dan Silas Papare.
Sebelumnya, pria yang akrab disapa Marthen ini merupakan polisi Belanda yang kemudian berbalik mendukung Indonesia setelah bertemu dengan beberapa tahanan politik yang diasingkan di Digul, salah satunya adalah Sugoro Atmoprasojo. Saat itu, ia bertugas untuk menjaga para tahanan politik yang secara tidak langsung berhasil menumbuhkan jiwa nasionalismenya dalam pertempuran melawan penjajah. 
Jiwa nasionalisme Marthen memang tumbuh sangat kuat, namun beberapa upaya yang direncanakan olehnya dan puluhan anak buahnya dalam menangkap aparat pemerintah Belanda berulang kali gagal. Perjuangan Marthen dalam membela tanah kelahirannya sempat gagal beberapa kali, namun hal itu tidak menyurutkan niat dan semangat juang pria lulusan Sekolah Polisi di Sukabumi, Jawa Barat ini menyerah dan tunduk pada musuh begitu saja.
Pada tahun 1944, sekembalinya dari pengungsian di Australia selama tiga tahun, Marthen ditunjuk sekutu untuk melatih anggota Batalyon Papua yang nantinya akan difungsikan sebagai tentara pelawan Jepang. Setahun berikutnya, ia diangkat sebagai Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris selama dua tahun. Dalam tahun-tahun tersebut Marthen tak hanya tinggal diam, namun ia melakukan kontak terhadap mantan para pejuang Indonesia yang pernah ditahan di Digul. Dalam kontak tersebut, mereka merencanakan suatu pemberontakan untuk mengusir Belanda dari tanah Cendrawasih. Namun, usaha mereka gagal begitu Belanda mencium gelagat Marthen dan rencana mereka batal diekskusi.
Di tahun ia merangkap menjadi Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris, tepatnya pada tahun 1946, Marthen bergabung dengan sebuah organisasi politik bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang kemudian dikenal dengan sebutan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Saat menjabat sebagai ketua, Marthen dan beberapa kepala suku yang ada di Papua menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Belanda yang berencana memisahkan wilayah Irian Barat dari wilayah kesatuan Indonesia. Mengetahui pihaknya membelot, Belanda menangkap Marthen dan membuinya selama tiga tahun di hulu Digul karena pasukan Belanda merasa dikhianati oleh aksinya tersebut.
Belum berhasil merebut Irian Barat untuk disatukan kembali dengan wilayah kesatuan Indonesia, pada tahun 1962 Marthen bergerilya untuk menyelamatkan anggota RPKAD yang didaratkan di Papua selama masa Tri Komando Rakyat (Trikora). Di tahun yang sama, Marthen menyampaikan Piagam Kota Baru yang berisi mengenai keinginan kuat penduduk Papua untuk tetap setia pada wilayah kesatuan Indonesia. Berkat piagam tersebut, Marthen dikirim ke New York untuk melakukan perundingan dengan utusan Belanda tentang pengembalian Irian Barat yang selama ini berada di bawah pemerintahan sementara PBB ke dalam wilayah kesatuan Indonesia.
Akhirnya, dalam perundingan tersebut, Irian Barat resmi bergabung dengan wilayah kesatuan Indonesia dan berganti nama menjadi Irian Jaya. Berkat jasanya, Marthen diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) sejak tahun 1963 hingga 1968. Tak hanya itu, ia juga diangkat sebagai kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler selama dua puluh tahun.
Marthen meninggal pada usia 74 tahun tepatnya pada tanggal 17 Juli 1986. Berkat jasanya terhadap negara, Marthen mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 14 September 1993.

C. Tokoh Ulama
K. H. Hasyim Asy’ari
Ternyata, Squad, mereka yang mempertahankan kemerdekaan tidak hanya datang dari kalangan sipil dan tentara saja, lho. Salah satu tokoh yang berjuang mempertahankan kemerdekaan NKRI adalah K.H. Hasyim Asy’ari. Beliau merupakan salah satu ulama yang mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. K.H. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, Jawa Tengah tanggal 10 April 1875. Pondok Pesantren Tebuireng didirikan pada tahun 1899 serta memelopori pendirian organisasi massa Islam Nahdhatul Ulama (NU) tanggal 31 Januari 1926. K.H. Hasyim Asy’ari memiliki peran dalam upaya memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia antara lain:
Peran K. H. Hasyim Asy'ari dalam mempertahankan keutuhan NKRI
K.H. Hasyim Asy’ari wafat tanggal 25 Juli 1947. Wafatnya beliau terjadi ketika utusan Bung Tomo serta pemimpin Hizbullah Surabaya Kyai Gufron bertamu ke pesantren Tebuireng. Kedatangan dua tamu tersebut berupaya memberitahu K.H. Hasyim Asy’ari bahwa pasukan Belanda melakukan Agresi Militer 1 dan menduduki kota Malang yang sebelumnya dikuasai pasukan Hizbullah.
Berita itu mengejutkan K.H. Hasyim Asy’ari dan membuat beliau jatuh pingsan di atas kursinya. Dokter segera didatangkan namun sayangnya ia sudah wafat akibat pendarahan otak. Pemerintah RI lantas menghargai jasa-jasanya dan pengabdiannya dengan mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 294 Tahun 1964 tanggal 17 November 1964, yang menyatakan bahwa Pemerintah RI menganugerahi K.H. Hasyim Asy’ari gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
K. H. Hasyim Asy'ari
K. H. Hasyim Asy’ari. (Sumber: tempo.co).
D. Tokoh Seniman
Ismail Marzuki (1914-1958)
Ismail Marzuki (lahir di Kwitang, SenenBatavia11 Mei 1914 – meninggal di Kampung Bali, Tanah AbangJakarta25 Mei 1958 pada umur 44 tahun) adalah salah seorang komponis besar Indonesia. Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu pusat seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di kawasan SalembaJakarta Pusat.

Ismail Marzuki lahir dan besar di Jakarta dari keluarga Betawi. Nama sebenarnya adalah Ismail, sedangkan ayahnya bernama Marzuki, sehingga nama lengkap beliau menjadi Ismail bin Marzuki. Namun, kebanyakan orang memanggil nama lengkapnya Ismail Marzuki, bahkan di lingkungan teman-temannya kerap dipanggil Mail, Maing atau bang Maing. Ia dilahirkan di kampung Kwitang, tepatnya di kecamatan Senen, wilayah Jakarta Pusat, pada tanggal 11 Mei 1914. Tiga bulan setelah Ismail dilahirkan, ibunya meninggal dunia. Sebelumnya Ismail Marzuki juga telah kehilangan 2 orang kakaknya bernama Yusuf dan Yakup yang telah mendahului saat dilahirkan. Kemudian beliau tinggal bersama ayah dan seorang kakaknya yang masih hidup bernama Hamidah, yang umurnya lebih tua 12 tahun dari Ismail
Ismail Marzuki memulai debutnya di bidang musik pada usia 17 tahun, ketika untuk pertama kalinya ia berhasil mengarang lagu "O Sarinah” pada tahun 1931. Ismail mempunyai kepribadian yang luhur di bidang seni. Tahun 1936, Mail memasuki perkumpulan orkes musik Lief Java sebagai pemain gitar, saxophone dan harmonium pompa.
Pada tahun 1940 Ismail Marzuki pun menikah dengan Eulis Zuraidah, seorang primadona dari klub musik yang ada di Bandung dimana Ismail Marzuki juga tergabung didalamnya. Pasangan ini kemudian mengadopsi seorang anak bernama Rachmi, yang sebenarnya masih keponakan Eulis.
Pada masa penjajahan Jepang, Ismail Marzuki turut aktif dalam orkes radio pada Hozo Kanri Keyku Radio Militer Jepang. Dan ketika masa kependudukan Jepang berakhir, Ismail Marzuki tetap meneruskan siaran musiknya di RRI. Selanjutnya ketika RRI kembali dikuasia Belanda pada tahun 1947, Ismail Marzuki yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda dan memutuskan untuk keluar dari RRI. Ismail Marzuki baru kembali bekerja di radio setelah RRI berhasil diambil alih. Ia kemudian mendapat kehormatan menjadi pemimpin Orkes Studio Jakarta. Pada saat itu ia menciptakan lagu Pemilihan Umum dan diperdengarkan pertama kali dalam Pemilu 1955.
Beberapa karya Ismail Marzuki yang cukup dikenal antara lain:
- Tahun 1931, untuk pertama kalinya Ismail menciptakan lagu yang berjudul “Oh Sarinah” yang syairnya dibuat dalam bahasa Belanda.
- Tahun 1935, sewaktu berusia 21 tahun muncul karyanya dalam bentuk keroncong yang berjudul Keroncong Serenata.
- Tahun 1936, mencipta Roselani, judul ini membawa kita ke suasana romantis alam Hawaii di Samudra Pasifik.
- Tahun 1937, muncul lagu-lagu yang mengambil latar belakang “Hikayat 1001 Malam” berjudul Kasim Baba saat Ismail berusia 23 tahun; dan mencipta gubahan keroncong yang berjudul keroncong sejati bermodus minor bernafaskan melodi yang melankolis.
- Tahun 1938, mengisi ilustrasi musik film berjudul “Terang Bulan”. Di dalamnya ada 3 buah lagu, antara lain: Pulau Saweba, Di Tepi Laut, Duduk Termenung. Film ini dibintangi oleh Miss Rukiah, Kartolo, Raden Mochtar dan lain-lain. Pemuda Ismail turut berperan dalam film tersebut yakni bermain musik dengan rekan-rekannya sebagai pelengkap skenario. Film ini diputar di Malaya. Ismail bernyanyi untuk adegan Raden Mochtar sewaktu menyanyi.
- Tahun 1939, keluar ciptaan sebanyak 8 buah lagu, 2 lagu diantaranya berbahasa Belanda, yaitu: Als de Ovehedeen dan Als’t Meis is in de tropen. Sedang lagu-lagu Indonesianya adalah Bapak Kromo, Bandaneira, Olee lee di Kutaraja, Rindu Malam, Lenggang Bandung, Melancong ke Bali. Dalam periode ini Ismail belum menciptakan lagu-lagu perjuangan.
Lagu ciptaan karya Ismail Marzuki yang paling populer adalah Rayuan Pulau Kelapa yang digunakan sebagai lagu penutup akhir siaran oleh stasiun TVRI pada masa pemerintahan Orde Baru.
Ismail Marzuki mendapat anugerah penghormatan pada tahun 1968 dengan dibukanya Taman Ismail Marzuki, sebuah taman dan pusat kebudayaan di SalembaJakarta Pusat. Pada tahun 2004 dia dinobatkan menjadi salah seorang tokoh pahlawan nasional Indonesia.
Makam Ismail Marzuki di TPU Karet Bivak, Jakarta
Ia sempat mendirikan orkes Empat Sekawan. Selain itu ia dikenal publik ketika mengisi musik dalam film Terang Bulan.
Ismail Marzuki tutup usia pada umur 44 tahun 25 Mei 1958 di kediamannya, kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, karena penyakit paru-paru yang dideritanya. 

Karya Lagu

Ismail Marzuki, dengan pianonya (Sumber: id.Wikipedia.org)

E. Tokoh Pejuang Perempuan
Opu Daeng Risaju
Opu Daeng Risadju adalah pejuang wanita asal Sulawesi Selatan yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Opu Daeng Risadju memiliki nama kecil Famajjah. Opu Daeng Risaju itu sendiri merupakan gelar kebangsawanan Kerajaan Luwu yang disematkan pada Famajjah memang merupakan anggota keluarga bangsawan Luwu. Opu Daeng Risaju merupakan anak dari pasangan Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah to Barengseng yang lahir di Palopo pada 1880.
Di kota ini Famajjah terlahir pada 1880, sebagai anak dari Muhammad Abdullah To Baresseng dan Opu Daeng Mawellu. Keluarga ini dianggap keluarga bangsawan. Seperti kebanyakan orang Islam pada masanya, Famajjah hanya belajar mengaji Alquran tanpa sekolah formal. Ia lantas menikah dengan Haji Muhammad Daud, dan dikenal dengan nama Opu Daeng Risadju. Keluarga ini pernah tinggal di Parepare, sebuah kota pelabuhan lain di Sulawesi Selatan yang menghadap Selat Makassar.


                                   Opu Daeng Risaju. (Sumber : id. Wikioedia.org)

Sejak kenal H. Muhammad Yahya, Opu Daeng Risadju mulai aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Yahya adalah pedagang Sulawesi Selatan yang pernah bermukim lama di Jawa dan mendirikan PSII di Pare-Pare. Setelah bergabung, Opu Daeng Risadju dan suaminya membuka PSII di Palopo pada 14 Januari 1930.
Peresmian PSII Palopo disertai rapat akbar di Pasar Lama Palopo (sekarang Jalan Landau). Rapat dihadiri pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat, pemuka masyarakat, dan masyarakat umum. Hasil rapat meresmikan Opu Daeng Risadju sebagai ketua. Sedangkan saudaranya, Mudehang, sebagai sekretaris. Mudehang dipilih karena dia tamatan sekolah dasar lima tahun yang bisa membaca dan menulis.
Akan tetapi, pada masa pendudukan Jepang, tidak banyak kegiatan yang Opu Daeng Risaju lakukan di PSII. Ini disebabkan karena pemerintahan Jepang melarang adanya kegiatan politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan, termasuk PSII. Opu Daeng Risaju mulai kembali aktif pada masa revolusi di Luwu.
Karena dukungan dari rakyat yang sangat besar, pihak Belanda mulai menahan Opu agar tidak melanjutkan perjuangannya di PSII. Pihak Belanda yang bekerja sama dengan controleur afdeling Masamba menganggap Opu menghasut rakyat dan melakukan tindakan provolatif agar rakyat tidak lagi percaya kepada pemerintah. Akhirnya, Opu diadili dan dicabut gelar kebangsawanannya. Tidak hanya itu, tekanan juga diberikan kepada suami dan pihak keluarga Opu agar menghentikan kegiatannya di PSII.
Opu Daeng Risaju kemudian tertangkap oleh tentara NICA di Lantoro dan dibawa menuju Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km. Opu Daeng Risaju lalu ditahan di penjara Bone selama satu bulan tanpa diadili, kemudian dipindahkan ke penjara Sengkan, lalu dipindahkan lagi ke Bajo. Opu Daeng Risaju kemudian dibebaskan tanpa diadili setelah 11 bulan menjalani tahanan. Opu Daeng Risaju kemudian kembali ke Bua dan menetap di Belopa. Pada tahun 1949, Opu Daeng Risaju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya Haji Abdul Kadir Daud. Opu Daeng Risaju wafat dalam usia 84 tahun, pada 10 Februari 1964. Pemakamannya dilakukan di perkuburan raja-raja Lokkoe di Palopo tanpa ada upacara kehormatan.
F. Tokoh Militer
Jenderal TNI Gatot Soebroto
Jenderal TNI (Purn.) Gatot Soebroto lahir di Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah, 10 Oktober 1907. Jenderal Gatot Subroto dikenal sebagai tentara yang aktif di tiga zaman. Dia pernah menjadi Tentara Hindia Belanda (KNIL), masa pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan beliau menumpas PKI.
Peran Gatot Soebroto dalam mempertahankan keutuhan NKRI
Pada tanggal 11 Juni 1962 Gatot Soebroto wafat pada usia 54 tahun akibat serangan jantung. Pangkat terakhir yang disandangnya adalah Letnan Jenderal. Atas jasa-jasa dan perjuangannya, ia dianugerahi gelar Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gatot Soebroto adalah tentara asli indonesia. darma baktinya kepada nusa dan bangsa ia tunjukkan dengan prestasi yang luar biasa.
Semua pemberontakan di tanah air mulai dari pki madiun 1948, DI/TII, dan PRRI Permesta. Selama hidupnya sosok Gatot Soebroto merupakan sosok yang dianggap gila karena ucapannya yang terkadang kasar namun karena sikapnya tersebut ia sangat dekat dengan para bawahannya di militer.
Gatot Soebroto
Gatot Soebroto. (Sumber: news.okezone.com).

Laksamana Madya TNI Yos Sudarso
Laksamana Madya TNI Yos Sudarso lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 24 November 1925. Laksamana Madya TNI Yos Sudarso bertugas di angkatan laut pada dua zaman. Ia bertugas sejak masa Pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan.
Peran Yos Sudarso dalam mempertahankan keutuhan NKRI
Laksamana Madya TNI Yos Sudarso wafat dalam pertempuran di Laut Aru tanggal 15 Januari 1962. Ia meninggal ketika melaksanakan operasi rahasia untuk menyusupkan sukarelawan ke Irian menggunakan KRI Macan Tutul.
Yos Sudarso
Yos Sudarso. (Sumber: id.wikipedia.org).


Itu dia, Squad, beberapa tokoh yang berjuang mempertahankan kemerdekaan NKRI masa itu. Hebat ya, mereka. Jangan lupa ucapkan terima kasih dan panjatkan doamu untuk mereka, ya. Selain orang-orang tersebut, sebetulnya masih banyak orang yang berjuang saat itu. 

Daftar Pustaka

Komentar

  1. Listen...

    This may sound pretty creepy, and maybe even kind of "supernatural"

    HOW would you like it if you could just hit "Play" to listen to a short, "miracle tone"...

    And suddenly attract MORE MONEY to your LIFE?

    And I'm really talking about thousands... even MILLIONS of DOLLARS!!

    Do you think it's too EASY? Think this couldn't possibly be for REAL?

    Well, Let me tell you the news...

    Usually the most magical miracles in life are the easiest to GET!!

    Honestly, I will PROVE it to you by allowing you to PLAY a REAL "miracle abundance tone" I've produced...

    You just hit "Play" and the money will start coming into your life. starting so fast, you will be surprised.

    CLICK here NOW to PLAY the wonderful "Miracle Money-Magnet TONE" - as my gift to you!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Drama Detik-detik Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Prambanan (20/1) Naskah Drama Detik-detik Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (Diambil dari berbagai sumber, oleh Wawan Teamlo) ditulis kembali oleh Atik ANNOUNCER : 15 Agustus 1945  Para Pemuda  mendesak Golongan Tua untuk memproklamasikan Indonesia gagal,  para pemuda lalu melaksanakan pertemuan di Jalan Cikini 71. Mereka lalu sepakat untuk menculik Soekarno-Hatta dan membawa mereka ke Rengasdengklok. Wikana              : (mengetuk pintu dengan keras) “Bung Karno, Bung Karno!” Soekarno           : (membuka pintu) “Iyaa, ada apa?” Shaleh               : “Anda harus ikut kami ke Rengasdengklok” Soekarno           : “Untuk apa aku ikut dengan kalian?” Wikana              : “Ini sudah jadi kesepakatan para pemuda Bung, kami akan membawa anda dan Bung Hatta ke Rengasdengklok” (IMPROVISASI DIPERBOLEHKAN) ANNOUNCER : Rombongan pemuda yang membawa Soekarno dan Hatta tiba di Rengasdengklok. Bung Hatta telah sampai terlebih dahulu sebelum Bung Karno. Keduanya dibawa ke sebuah

SEJARAH XI BAB IV “TIRANI MATAHARI TERBIT”

RANGKUMAN MATERI SEJARAH XI BAB IV  “TIRANI MATAHARI TERBIT” A.        Menganalisis Awal Pemerintahan “Saudara Tua” 1.        Penguasaan Kepulauan Indonesia Sejak pengeboman Pearl Harbour oleh angkatan udara Jepang pada 8Desember 1941, serangan terus dilancarkan ke angkatan laut Amerika Serikat   di Pasifik. Kemenangan pasukan Jepang seolah-olah tak dapat dikendalikan   dan pasukan itu berturut-turut menghancurkan basis militer Amerika. Selain   itu, serangan Jepang juga diarahkan ke Indonesia. Serangan terhadap Indonesia tersebut   bertujuan untuk mendapatkan cadangan logistik dan bahan industri perang,   seperti minyak tanah, timah, dan aluminium. Sebab, persediaan minyak di   Indonesia diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan Jepang selama PerangPasifik. Pada Januari 1942, Jepang mendarat di Indonesia melalui Ambon dan seluruh Maluku Daerah Tarakan di Kalimantan Timur kemudian dikuasai olehJepang bersamaan dengan Balikpapan (12 Januari 1942). Jepang kemudianmenyerang Su